Muqaddimah
Dalam Agama Samawi(Agama Langit), Bahtera Nabi Nuh adalah sebuah kapal yang dibangun atas perintah Tuhan untuk menyelamatkan Nabi Nuh a.s., keluarga yang beriman, kaumnya yang beriman dan kumpulan binatang yang ada di seluruh dunia dari air bah. Kisah ini terdapat dalam Kitab Kejadian dalam Perjanjian Lama(Injil) dan Al-Quran.
Sejumlah besar penganut Yahudi Ortodoks(Yahudi Kuno) dan Kristian berdasarkan Perjanjian Lama dan umat Islam berdasarkan Al-Quran mempercayai bahawa kisah ini benar-benar terjadi. Namun sebahagian lain penganut Yahudi Ortodoks dan Kristian yang memegang kepercayaan hipotesis terhadap dokumen saintifik, menyatakan bahawa kisah yang dikisahkan dalam Kitab Kejadian ini mungkin terdiri dari sejumlah sumber yangsesetengahnya bersifat berkecuali (independents), dan proses penyusunannya yang berlangsung selama beberapa abad dapat menolong menjelaskan kekacauan dan pengulangan yang tampak di dalam teksnya. Walaupunbegitu, sebahagian umat Yahudi Ortodoks dan Kristian yang mempercayai kisah ini menyatakan bahawa kekacauan itu dapat dijelaskan secara rasional.
Mitos Sumeria juga menceritakan kisah seperti ini, namun ia agak berbeza dengan agama Abrahamik, kerana tokoh dalam kisah Sumeria tidak bernama Nuh tetapi Ziusudra. Kisah Sumeria mengisahkan bagaimana Ziusudra diperingatkan oleh para dewa untuk membangun sebuah kapal untuk menyelamatkan diri dari banjir yang akan menghancurkan umat manusia. Tidak hanya dalam agama Ibrahamik dan Sumeria, kisah hampir serupa juga ditemukan di banyak kebudayaan di seluruh dunia. Memang kisah tentang banjir ini adalah salah satu cerita rakyat yang paling umum terkenal di seluruh dunia.
Kisah Bahtera ini telah diuraikan secara panjang lebar di dalam berbagai teks Agama Samawi, yang mencampurkan solusi-solusi teoretis dengan masalah-masalah praktis semisal bagaimana cara Nuh membuang kotoran-kotoran binatang, atau dengan penafsiran-penafsiran alegoris yang mengajak
manusia menuju kejalan lurus dan benar dengan mematuhi perintah Tuhan.
Pada awal abad ke-18, perkembangan geologi(kajian tanah) dan biogeografi sebagai ilmu pengetahuan telah membuat sedikit sejarawan alam yang merasa mampu membenarkan penafsiran yang harafah keatas kisah Bahtera ini. Namun demikian, para pakar kitab terus meneliti gunung dimana kapal tersebut berlabuh.
Model of Noah's Ark
Namun begitu, Alkitab menyatakan bahawa kapal itu berlabuh di daerah timur laut Turki dan Al-Quran berpendapat bahawa kapal itu mendarat di kawasan sekitar Pergunungan Judi, Cizre di sempadan Iraq-Turki. Namun sesetengah pendapat lain menyatakan Bahtera itu mendarat di sekitar kawasan Pergunungan Ararat Turki.
Naratif
Kisah Bahtera Nuh, menurut Kitab Kejadian fasal 6-9 (Al-Kitab Kristian), dimulai ketika Allah mengamati perilaku jahat manusia dan memutuskan untuk mengirimkan banjir ke bumi dan menghancurkan seluruh kehidupan. Akan tetapi, Allah menemukan(mengutuskan) satu manusia yang baik, iaitu Nuh, "seorang yang benar dan tidak bercela di antara orang-orang sezamannya," dan memutuskan bahawa ia akan melanjutkan garis keturunan manusia. Allah menyuruh Nuh untuk membangun sebuah bahtera, dan membawa sertanya isterinya dan ketiga anak lelakinya Sem, Ham, dan Yafeth, beserta isteri mereka. Selain itu, ia disuruh untuk membawa sepasang dari semua jenis binatang dan burung-burung di udara, jantan dan betina. Untuk menyediakan makanannya, ia diperintahkan membawa makanan dan menyimpannya di bahteranya.
Nuh dan keluarganya serta binatang-binatang itu masuk ke dalam Bahtera, dan "pada hari itulah terbelah segala mata air samudera raya yang dahsyat dan terbukalah tingkap-tingkap di langit. Dan turunlah hujan lebat meliputi bumi empat puluh hari empat puluh malam lamanya." Banjir menutupi bahkan gunung-gunung yang tertinggi sekalipun hingga kedalamannya lebih dari 20 kaki, dan segala makhluk di muka Bumi pun mati. Hanya Nuh dan mereka yang ada bersamanya di dalam Bahtera yang selamat dan hidup.Juga ada riwayat mengatakan bahawa air keluar dari perut bumi,Wallahua'lam.
Setelah 150 hari, Bahtera akhirnya berhenti di Pergunungan Ararat. Air terus menyurut, dan setelah sekitar 70 hari lagi puncak-puncak bukit pun muncul. Nuh melepaskan seekor burung gagak yang "terbang pulang pergi, sampai air itu menjadi kering dari atas bumi." Berikutnya, Nuh melepaskan seekor burung merpati, tetapi ia kembali kerana tidak menemukan tempat untuk mendarat. Setelah tujuh hari lagi, Nuh kembali mengeluarkan burung merpati, dan burung itu kembali dengan sehelai daun zaitun di paruhnya, dan Nuh pun tahu bahawa air telah surut. Nuh menunggu tujuh hari lagi dan mengeluarkan burung merpati itu sekali lagi. Kali ini burung itu tidak kembali. Lalu ia dan keluarganya serta semua binatang meninggalkan Bahtera, dan Nuh memberikan kurban kepada Allah. Allah memutuskan bahawa Ia tidak akan mengutuki bumi lagi kerana manusia, dan tidak akan pernah lagi menghancurkan semua kehidupan dengan cara seperti ini.
Untuk mengingat janji ini, Allah menempatkan pelangi di awan-awan, sambil berkata, "Apabila kemudian Kudatangkan awan di atas bumi dan busur itu nampak di awan, maka Aku akan mengingatperjanjian-Ku yang telah ada antara Aku dan kamu serta segala makhluk yang hidup.
Hipotesis Dokumen dan Bahtera
Bahtera Nabi Nuh di Gunung Judi Iran(Dalam Bulatan)
Cerita Bahtera ini sesekali memberikan kesan kekacauan: mengapa cerita ini menyatakan dua kali bahwa manusia telah menjadi jahat tetapi bahawa Nuh akan diselamatkan (Kej. 6:5–8; 6:11–13)? Apakah Nuh diperintahkan untuk memasukkan sepasang dari masing-masing binatang yang tidak haram ke dalam Bahtera (Kej. 6:19–20) ataukah tujuh pasang (Kej. 7:2–3)? Apakah banjir itu berlangsung empat puluh hari (Kej. 7:17) ataukah 150 hari (Kej. 7:24)? Apa yang terjadi dengan burung gagak yang dikeluarkan dari Bahtera pada saat yang bersamaan dengan burung merpati itu dan " terbang pulang pergi, sampai air itu menjadi kering dari atas bumi" sekitar dua atau tiga minggu berikutnya (Kej. 8:7)? Mengapa naratif ini tampaknya m
empunyai dua titik akhir yang logik (Kej. 8:20–22 dan 9:1–17)? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini bukanlah unik bagi cerita Bahtera ini, atau bagi Kitab Kejadian, dan upaya untuk menemukan pemecahannya telah
melahirkan apa yang kini merupakan aliran pemikiran yang dominan tentang analisis tekstual dari kelima kitab pertama di dalam Alkitab, hipotesis dokumen.
Menurut hipotesis ini, kelima kitab dari Pentateukh—Kejadian, KItab Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan disunting bersama-sama pada abad ke-5 SM dari empat sumber yang sahih. Naratif Bahtera ini diyakini terdiri dari dua sumber, yaitu sumber Priestis dan Yahwis. Sumber Yahwis adalah sumber yang lebih awal dari keduanya, yang disusun pada masa kerajaan Yehuda(Yahudi) dari teks-teks dan tradisi-tradisi yang bahkan lebih tua tak lama setelah pemisahan Yehuda dan Israel l.k. 920 SM. Naratif Yahwis agak lebih sederhana dibandingkan dengan kisah Priestis: Allah mengirim air bah-Nya (selama empat puluh hari), Nuh dan keluarganya dan semua binatang diselamatkan (tujuh pasang dari masing-masing binatang yang tidak haram, sepasang dari binatang-binatang yang haram), Nuh membangun sebuah mezbah dan memberikan korban, dan Allah memutuskan untuk tidak membinasakan bumi lagi dengan air bah. Sumber Yahwis tidak menyebut-nyebut perjanjian antara Allah dan Nuh.
Teks Priestis diyakini disusun oleh para imam dari tradisi Harun di Bait Suci di Yerusalem setelah runtuhnya kerajaan Israel di utara pada 722 SM, dengan tujuan khusus yaitu membantah butir-butir tertentu dalam teks-teks J dan E. Bahan dari sumber Priestis ini mengandung jauh lebih banyak detail dibandingkan dengan sumber Yahwis—misalnya, pertunjukan tentang pembangunan Bahtera, dan kronologi yang terinci —dan juga memberikan inti teologis yang penting bagi cerita ini, yakni perjanjian antara Allah dan Nuh dalam Kej. 9:1–17, yang memperkenalkan metode pembantaian ritual khas Yahudi dan merupakan ‘’quid pro quo’’ untuk janji Allah untuk tidak menghancurkan bumi lagi. Sumber Priestis inilah yang memberikan kita burung gagak (sumber Yahwis menceritakan burung merpati) dan pelangi, dan yang memperkenalkan jendela-jendela (tingkap-tingkap) di langit serta “mata air samudera raya” (sumber Yahwis hanya menyebutkan bahwa hujan turun). Keempat teks ini yang kini membentuk Pentateukh ini disunting ke dalam bentuknya yang sekarang setelah kepulangan bangsa Yahudi daripembuangan di Babel pada abad ke-5 SM.
Tema cerita Bahtera tentang murka Allah atas kekejian manusia, keputusan-Nya untuk melakukan pembalasan yang mengerikan, dan penyesalan-Nya di kemudian hari, adalah ciri khas si pengarang atau para pengarang Yahwis, yang menggambarkan Allah seperti figur manusia yang muncul secara pribadi dalam naratif Alkitab. Sebaliknya, sumber Priestis, biasanya menggambarkan Allah sebagai Allah yang jauh dan tidak dapat dihampiri kecuali melalui imamat Harun. Jadi, misalnya, sumber Yahwis menuntut tujuh pasang dari masing-masing binatang yang
tidak haram untuk memungkinkan kurban Nuh, sementara sumber Priestis menguranginya hingga satu pasang saja, karena tidak ada kurban yang dapat dipersembahkan di bawah kepemimpinan para imam hingga imam yang pertama (Harun) dibentuk pada masa Exodus.
Cerita-cerita air bah Mesopotamia
Kebanyakan sarjana Alkitab modern menerima tesis bahwa cerita air bah di dalam Alkitab berkaitan dengan sebuah siklus mitologi Asyur-Babilonia yang banyak mengandung kesamaan dengan cerita Alkitab. Mitos air bah Mesopotamia sangat populer—pengisahan kembali yang terakhir dari cierta ini berasal dari abad ke- 3 SM. Sejumlah besar teks-teks asli dalam bahasa Sumeria, Akkadia dan Asyur, ditulis dalam huruf paku, telah ditemukan oleh para arkeolog, tetapi tugas pencarian kembali prasasti-prasasti lainnya tetap berlangsung, seperti halnya juga penerjemahan atas prasasti-prasasti yang telah ditemukan.
Prasasti-prasasi tertua yang telah ditemukan ini, epos Atrahasis, dapat diduga waktu penulisannya melalui colophon (identifikasi penulisan) ke masa pemerintahan buyut Hammurabi, Ammi-Saduqa (1646–1626 SM). Prasasti ini ditulis dalam bahasa Akkadia (bahasa Babilonia kuno), dan menceritakan bagaimana dewa Enki memperingatkan sang pahlawan Atrahasis ("Sangat Bijaksana") dari Shuruppak untuk membongkar rumahnya (yang dibuat dari buluh-buluh) dan membangun sebuah kapal untuk menyelamatkan diri dari air bah yang dipakai oleh dewa Enlil, yang murka karena hingar-bingar di kota-kota, untuk memusnahkan manusia. Kapal ini mempunyai atap "seperti Apsu" (samudera dunia bawah yang berisikan air tawar yang tuannya adalah Enki), lantai atas dan bawah, dan harus ditutup dengan aspal (bitumen). Atrahasis naik ke kapal itu bersama dengan keluarganya dan binatang-binatang lalu mengunci pintunya. Badai dan air bah pun datang. Bahkan para dewata pun takut. "Mayat-mayat menyumbat sungai seperti capung." Setelah tujuh hari banjir berhenti dan Atrahasis memberikan kurban. Enlil murka, tetapi Enki, sahabat umat manusia, tidak peduli kepadanya - "Aku telah memastikan bahwa kehidupan diselamatkan" - dan pada akhirnya Enki dan Enlil sepakat dengan cara-cara lain untukmengendalikan populasi manusia. Cerita ini juga ada dalam versi Asyur yang belakangan.
Cerita Ziusudra dikisahkan dalam bahasa Sumeria dalam potongan-potongan Kejadian Eridu, yang dapat diperkirakan tanggal penulisannya dari tulisannya yaitu akhir abad ke-17 SM. Cerita ini mengisahkan bagaimana Enki memperingatkan Ziusudra (yang berarti "ia melihat kehidupan," dalam rujukan kepada hadiah keabadian yang diberikan kepadanya oleh para dewata), raja Shuruppak, tentang keputusan dewata untuk menghancurkan umat manusia dengan air bah—teks yang menggambarkan mengapa dewata telah memutuskan hal ini telah hilang. Enki memerintahkan Ziusudra untuk membangun sebuah kapal yang besar —teks yang menceritakan perintah ini juga hilang. Setelah air bah selama tujuh hari, Ziusudra memberikan kurban yang selayaknya dan menyembah kepada An (dewa langit) dan Enlil (penghulu dewata), dan memperoleh kehidupan yang kekal di Dilmun, Taman Eden di kalangan bangsa Sumeria.
Kisah tentang Utnapishtim (terjemahan dari "Ziusudra" dalam bahasa Akkadia), sebuah episode dalam EposGilgames di kalangan bangsa Babilonia, dikenal dari salinan-salinan milenium pertama dan barangkali berasal dari cerita Atrahasis. Ellil, (setara dengan Enlil), penghulu para dewata, bermaksud menghancurkan seluruh umat manusia dengan air bah. Utnapishtim, raja Shurrupak, diperingatkan oleh dewa Ea (setara dengan Enki) untuk menghancurkan rumah yang dibangunnya dari buluh dan menggunakan bahan-bahannya untuk membangun sebuah bahtera serta memuatinya dengan emas, perak, dan benih dari segala makhluk hidup dan semua tukangnya.. Setelah badai yang berlangsung selama tujuh hari, dan kemudian 12 hari lagi hingga air surut, kapal itu mendarat di Gunung Nizir; setelah tujuh hari lagi Utnapishtim mengeluarkan seekor merpati, yang kemudian kembali, lalu seekor burung layang-layang, yang juga kembali, dan akhirnya seekor gagak, yang tidak kembali. Utnapishtim kemudian memberikan persembahan (yang terdiri dari masing-masing tujuh ekor binatang) kepada para dewata, dan dewata mencium bau harum daging bakar dan berkerumun "seperti lalat." Ellil marah karena ada manusia yang selamat, tetapi Ea memakinya, sambil berkata, "Bagaimana mungkin engkau mengirim air bah tanpa berpikir panjang? Terhadap orang-orang berdosa, biarkanlah dosa mereka tetap ada, tentang mereka yang jahat biarkanlah kejahatannya tetap bertahan. Hentikanlah, jangan biarkan hal itu terjadi, kasihanilah, [Agar manusia tidak binasa]." Utnapishtim dan istrinya kemudian memperoleh karunia keabadian dan dikirim untuk tinggal "jauh di mulut sungai."
Pada abad ke-3 SM Berossus, seorang imam agung dari kuil Marduk di Babilonia, menulis sejarah Mesopotamia dalam bahasa Yunani untuk Antiochus Soter (323–261 SM). Tulisan BerossusBabyloniaka telah lenyap, tetapi seorang sejarahwan Kristen abad ke-3 dan ke-4, Eusebius mengisahkannya kembali dari legenda tentang Xisuthrus, versi Yunani dari Ziusudra, dan pada hakikatnya adalah cerita yang sama. Eusebius menyimpulkan bahwa kapal itu masih dapat dilihat "di Pegunungan Corcyræan di Armenia; dan orang-orang mengerok lapisan bitumennya, yang merupakan lapisan luas kapal itu, dan memanfaatkannya sebagai alexipharmic dan jimat."
Cerita-cerita air bah lainnya
Cerita-cerita tentang air bah tersebar luas dalam mitologi dunia, dengan contoh-contoh praktis dari setiap masyarakat. Padanan Nuh dalam mitologi Yunani adalah Deucalion, dalam teks-teks India sebuah banjir yang mengerikan dikisahkan telah meninggalkan hanya satu orang yang selamat, yaitu seorang suci yang bernama Manu yang diselamatkan oleh Wisnu dalam bentuk seekor ikan, dan dalam Zoroastrian tokoh Yima menyelamatkan sisa-sisa umat manusia dari kehancuran oleh es. Cerita-cerita air bah telah ditemukan pula dalam berbagia mitologi dari banyak bangsa pra-tulisan dari wilayah-wilayah yang jauh dari Mesopotamia dan benua Eurasia; salah satu contohnya adalah legenda orang-orang Indian Chippewa. Mereka yang menafsirkan Alkitab secara harafiah menunjukkan bahwa cerita-cerita ini adalah bukti bahwa air bah di dalam Alkitab itu, dan Bahteranya, benar-benar terjadi dalam sejarah; para etnologi dan mitologi mengatakan bahwa legenda-legenda seperti legenda orang Chippewa harus diperlakukan dengan sangat hati-hati karena adanya kemungkinan kontaminasi dari hubungan mereka dengan agama Kristien (dan keinginan untuk menyesuaikan bahan tradisional agar cocok dengan agama yang baru mereka peluk), serta sebagai kebutuhan yang lazim untuk menjelaskan bencana alam yang tidak dapat dikendalikan oleh masyarakat-masyarakat purba.
Dalam Tradisi Rabinik
Cerita Nuh dan Bahtera banyak dibahas dalam literatur rabinik Yahudi yang belakangan. Kegagalan Nuh untuk memperingatkan orang-orang lain tentang datangnya air bah pada umumnya menyebabkan orang meragukan bahawa ia layak dianggap sebagai orang yang benar atau barangkali ia orang yang benar hanya bila dibandingkan dengan generasinya sendiri yang jahat? Menurut sebuah tradisi, ia malah telah meneruskan peringatan Allah, menanam pohon aras 120 tahun sebelum datangnya Air Bah itu, sehingga orang-orang yang berdosa dapat melihat dan diimbau agar mengubah cara hidup mereka. Untuk melindungi Nuh dan keluarganya, Allah menempatkan singa dan binatang-binatang buas lainnya untuk menjaga mereka dari orang-orang jahat yang mengejek mereka dan mengancam mereka dengan kekerasan. Menurut sebuah midrash, Allah lah, atau para malaikat, yang mengumpulkan binatang-binatang itu ke Bahtera, bersama-sama dengan makanan mereka. Karena sebelum masa ini tidak perlu diadakan pembedaan antara binatang yang haram dan yang tidak haram, maka binatang-binatang yang tidak haram memperkenalkan mereka dengan berlutut di hadapan Nuh sementara mereka masuk ke dalam Bahtera. Sebuah pandangan lain mengatakan bahawa Bahtera itu sendiri memisahkan yang haram dengan yang tidak haram, yang tidak haram diterima masing-masing tujuh ekor, sementara yang haram hanya sepasang.
Nuh sibuk siang dan malam memberi makan dan memperhatikan binatang-binatang itu. Ia tidak tidur selama satu tahun berada di dalam Bahtera. Binatang-binatang itu adalah yang terbaik dari antara spesiesnya,
dan berperilaku dengan sangat baik. Mereka tidak berbiak, sehingga jumlah binatang-binatang yang keluar dari Bahtera persis sama dengan jumlah yang masuk. Namun Nuh dibuat lumpuh oleh singa, sehingga ia tidak layak untuk menjalani tugas-tugas imamat. Karena itu kurban pada akhir pelayaran itu dilaksanakan oleh anaknya, Sem. Burung gagak menciptakan masalah, karena ia menolak keluar dari Bahtera ketika Nuh melepaskannya. Ia mengutuk sang Leluhur dan menuduhnya berniat menghancurkan keturunannya. Namun demikian, seperti yang ditunjukkan oleh para penafsir, Allah bermaksud menyelamatkan burung gagak itu, kerana keturunannya ditakdirkan untuk memberi makan kepada nabi Elia.
Semua kotoran disimpan pada tingkat yang paling bawah dari ketiga tingkat Bahtera, manusia dan binatang-binatang yang tidak haram ditempatkan di tingkat kedua, sementara binatang-binatang yang haram serta burung-burung di tingkat atas. Sebuah pandangan lain mengatakan bahwa semua kotoran diletakkan di tingkat yang paling atas, dan dari situ kemudian dibuang ke dalam laut melalui sebuah pintu (trapdoor). Batu-batu berharga, yang terang seperti tengah hari, memberikan cahanya, dan Allah memastikan bahwa makanan tetap segar. Raksasa Org, raja Basyan, berada di antara mereka yang diselamatkan —demikianlah mestinya yang terjadi, karena keturunannya disebutkan belakangan dalam kitab-kitab di dalam Torah—tetapi karena tubuhnya sangat besar ia harus tetap tinggal di luar, Nuh memberikan kepadanya makanan melalui lubang yang dibuat di dinding Bahtera.
Dalam Tradisi Kristian
Para penulis Kristian perdana menciptakan makna-makna alegoris untuk Nuh dan Bahtera. Perjanjian Baru (1 Petru
s 3:20–21), menyatakan bahawa perdamaian bagi mereka yang ada di Bahtera melalui air bah memberikan gambaran awal tentang orang Kristian yang diselamatkan melalui baptisan. Para seniman Kristian awal juga mengangkat Nuh dalam karya mereka. Mereka seri
ngkali menggambarkan Nuh yang berdiri di sebuah kotak yang kecil di tengah-tengah gelombang, yang menggambarkan tentang Allah yang menyelamatkan Gereja sementara melalui gelombang pergumulan.
St. Augustinus dari Hippo (354–430), dalam Kota Allah, menunjukkan bahwa ukuran-ukuran Bahtera itu sesuai dengan ukuran tubuh manusia, yaitu tubuh Kristus, iaitu Gereja. St. Hieronimus (l.k. 347–420) menyebut burung gagak, yang dikeluarkan dan tidak kembali sebagai "burung kejahatan yang kotor" yang diusir lewat baptisan; memberikan gambaran yang lebih bertahan lama, merpati dan ranting zaitun yang melambangkan Roh Kudus dan pengharapan akan perdamaian dan, akhirnya, perdamaian.
Pada tataran yang lebih praktis, Origenes (l.k. 182–251), menjawab kepada seorang kritik yang meragukan bahwa Bahtera itu dapat memuat semua binatang yang ada di dalam dunia, membantahkan dengan argumen yang cerdas tentang hasta. Ia mengatakan bahawa Musa, si pengarang tradisional dari Kitab Kejadian, dibesarkan di Mesir dan karenanya tentu telah menggunakan ukuran hasta Mesir yang lebih besar. Ia pun memperbaiki bentuk Bahteranya sebagai sebuah piramida terbalik, yang bentuknya persegi empat dan bukan bujur sangkar di bagian bawahnya, dan mengurangi hingga di satu sisinya square peak one cubit on a side. Baru pada abad ke-12 orang baru memikirkannya sebagai sebuah kotak persegi empat dengan atap yang miring.
Penyamaan Bahtera dengan Gereja masih ditemukan dalam ritus baptisan Anglikan, yang memohon kepada Allah, "yang dengan kemurahan-Mu yang besar telah menyelamatkan Nuh," untuk menerima ke dalam Gereja bayi yang akan dibaptiskan.
Dalam Tradisi Islam
Dalam agama Islam, Nuh merupakan salah satu dari
lima Rasul nabi penting bagi umat Islam keseluruhannya (Ulul A'zmi). Ia diperintah untuk mengingatkan kaumnya agar menyembah Allah yang saat itu menganut paganisme(klik disini) dengan menyembah berhala-berhala Suwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nashr. Dalam Al-Quran, Nuh diperintah selama 950 tahun. Rujukan-rujukannya tentang Nuh dalam Al-Quran bertebaran di seluruh kitab. Surah dalam al-Quran yang cukup lengkap menceritakan kisah Nuh adalah Surah Hud dari ayat 27 hingga 51.
Berbeza dengan kisah-kisah Yahudi, yang menggunakan istilah "kotak" atau "peti" untuk menggambarkan Bahtera Nuh, surah Al-'Ankabut ayat 15 dalam al-Qur'an menyebutnya As-Safinati, sebuah kapal biasa atau bahtera, dan dijelaskan lagi dalam Surah Al-Qamar ayat 13 sebagai "bahtera dari papan dan paku." Surah Hud ayat 44 mengatakan bahawa kapal itu mendarat di Gunung Judi, yang dalam tradisi merupakan sebuah bukit dekat kota Jazirah bin Umar di tepi timur Sungai Tigris di provinsi Mosul, Iraq. Abdul Hasan Ali bin al-Husayn Masudi (meninggal dunia pada tahun 956) mengatakan bahawa tempat pendaratan bahtera itu dapat dilihat pada masanya. Masudi juga mengatakan bahawa Bahtera itu memulai perjalanannya dari Kuffah di Iraq tengah dan berlayar ke Makkah, dan di sana kapal itu tawaf (mengelilingi) Kaabah, sebelum akhirnya mendarat di Gunung Judi, Cizre (Pergunungan yang sebanjaran dengan Gunung Ararat). Surah Hud ayat 41 mengatakan, "Dan Nuh berkata, 'Naiklah kamu sekalian ke dalamnya dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.'" Tulisan Abdullah bin 'Umar al-Baidawi abad ke-13 menyatakan bahawa Nuh mengatakan, "Dengan Nama Allah!" ketika ia ingin bahtera itu bergerak, dan kata yang sama ketika ia menginginkan bahtera itu berhenti.
Banjir itu dikirim oleh Allah sebagai jawapan ke atas doa Nabi Nuh bahawa generasinya yang jahat harus dihancurkan, namun kerana Nuh adalah yang benar, maka ia terus menyebarkan peringatan itu, dan 70 orang penyembah berhala bertaubat, dan masuk ke dalam Bahtera bersamanya, sehingga keseluruhan manusia yang ada di dalamnya adalah 78 orang (iaitu ke-70 orang ini ditambah 8 orang anggota keluarga Nuh sendiri). Ke-70 orang ini tidak mempunyai keturunan, dan seluruh umat manusia setelah air bah adalah keturunan dari ketiga anak lelaki Nuh iaitu Sem, Ham, dan Yafeth. Anak lelaki (atau cucu lelaki, menurut beberapa sumber) yang keempat yang bernama Kana'an termasuk para penyembah berhala, dan kerananya ia ikut tenggelam.
Baidawi memberikan ukuran Bahtera itu iaitu 300 hasta, (50 x 30), dan menjelaskan bahawa pada mulanya di tingkat pertama dari tiga tingkat ini diletakkan binatang-binatang liar dan yang sudah dijinakkan, pada tingkat kedua ditempatkan manusia, dan yang ketiga burung-burung. Pada setiap lembar papan terdapat nama seorang nabi. Tiga lembar papan yang hilang, yang melambangkan tiga nabi, dibawa dari Mesir oleh Org, putera Anak, satu-satunya raksasa yang diizinkan selamat dari banjir. Tubuh Nabi Adam a.s. dibawa ke tengah-tengah bahtera untuk memisahkan lelaki dan perempuan.
Nabi Nuh berada di Bahtera selama lima atau enam bulan, dan pada akhirnya ia mengeluarkan seekor burung gagak. Namun gagak itu berhenti untuk berpesta memakan daging-daging bangkai yang mati, dan kerana itu Nuh mengutuknya dan mengeluarkan burung merpati, yang sejak dahulu kala lagi telah dikenali sebagai sahabat manusia. Masudi menulis bahawa Allah memerintahkan bumi untuk menyerap airnya, dan bahagian-bahagian tertentu yang lambat menaati perintah ini memperoleh air laut sebagai hukumannya dan karena itu menjadi kering dan tidak ada kehidupan. Air yang tidak diserap bumi membentuk laut, sehingga air dari banjir itu masih ada.
Nuh meninggalkan Bahtera pada tanggal 10 Muharram, dan ia bersama keluarganya dan teman-temannya membangun sebuah kota di kaki Gunung Judi yang dinamai Thamanin ("delapan puluh"), dari jumlah mereka. Nuh kemudian mengunci Bahtera itu dan dipercayai kunci-kuncinya berada dalam simpanan Sem. Yaqut al-Hamawi (1179–1229) menyebutkan tentang sebuah Masjid yang dibangunkan oleh Nuh yang dapat dilihat hingga masa hidupnya, dan Ibnu Batutta telah melawati pergunungan Judi dan Ararat dalam perjalanannya pada abad ke-14. Orang Muslim moden, walaupun tidak semuanya aktif dalam mencari Bahtera tersebut, percaya bahawa benda itu masih berada di lereng-lereng pergunungan Judi-Ararat.Wallahua'lam(akan bersambung pada akan datang tentang penyelidikan bahtera Nabi Nuh)
1 comment:
Artikel ni sangat memeningkan kerana ia penuh dgn fakta trutama fakta2 dri kerajaan2 kuno,jdi admin berharap dgn post akan dtg supaya pembaca leh santai memahaminye,tq:))
Post a Comment